Sosial Budaya Pada Masa Orde Baru

Sosial Budaya Pada Masa Orde Baru – Di suatu tempat yang jauh, komik adalah komoditas ilegal. Ini seperti narkoba, tetapi sebenarnya lebih membuat ketagihan dan karena itu lebih diinginkan. Banyak pengedar narkoba beralih ke pengedar buku komik untuk mendapatkan lebih banyak keuntungan. Kementerian Agama negara itu juga melarangnya.

Negara membentuk agen untuk menghancurkan humor. Mirip KPK, tapi dengan misi khusus memusnahkan komik. Kementerian Agama juga memiliki pusat rehabilitasi khusus korban dan pecandu narkoba. Banyak dari mereka memiliki pemikiran yang serius dan dalam kasus terburuk bahkan berpikir bahwa mereka dapat berbicara dengan Tuhan.

Sosial Budaya Pada Masa Orde Baru

Karir seorang entertainer di negeri ini seperti karir seorang kriminal. Mereka, seperti penerbit buku komik, adalah target nomor satu Badan Strip Komik dan polisi. Berbahaya menceritakan lelucon di depan umum di negara itu.

Pdf) Politik Identitas Era Orde Baru Di Indonesia Memasuki Era Reformasi

Begitulah dunia yang diciptakan oleh komikus C. Suryo Laksono dalam serial komiknya ‘Srengenge’. Dunia ini menjadi latar belakang eksploitasi Senji, seorang komikus polisi yang dikatakan kebal terhadap kecanduan buku komik, dan Fajar, seorang komikus bawah tanah yang idealis. Serial ini hanya dirilis dalam dua volume, tetapi itu menjanjikan.

Dunia mungkin tampak tidak masuk akal pada pandangan pertama, tetapi sebenarnya itu benar. Suro dengan cekatan menghubungkan dunia komiknya dengan keadaan komik di Indonesia. Meski tidak se-ekstrim komik Srengenge yang terbit pertama kali pada 2017, komik-komik tersebut sempat dianggap toxic dan memiliki badan khusus yang memantau produksinya.

Untuk menelusurinya, kita harus menengok ke Indonesia pada tahun 1950-an, ketika komik sedang booming. Saat itulah muncul tokoh-tokoh aristokrat, yang oleh pakar budaya Arsendo Atmoviloto disebut sebagai “majelis”, tiruan dari majelis atau pahlawan dari benua Amerika. Kami memanggilnya Sri Asi, nama R.A. Kosahi atau Putri Bintang dan Garuda Putih oleh John Lo.

Selain dipuji, komik Adisatriya dan komik ala Amerika lainnya juga dikritik. Guru dan orang tua percaya bahwa komik mengandung ide-ide berbahaya. Asalnya tidak sulit ditebak: sentimen anti-Barat. Tentu saja, negara kita baru saja keluar dari kolonialisme.

Hari Hari Jelang Reformasi, 20 Tahun Lalu, Dalam Gambar Dan Catatan

Siri Asi sebenarnya bukan simulasi kasar. Desain karakter dirancang oleh Kosahih agar terlihat seperti pertunjukan wayang orang Sunda, dan muncullah “Sharq”. Namun, ini jelas tidak cukup. Meski tetap berada di permukaan, tak bisa dipungkiri bahwa komik superhero masih merupakan produk budaya Barat.

Sarjana budaya pop Paul Hera dikutip oleh majalah Wibow Gatra: “Mereka menyadari bahwa sisa-sisa budaya Amerika dalam komik akan menjadi musuh ideologis yang lebih berbahaya bagi pemerintah saat itu.”

Meski belakangan para pencipta komik memperkenalkan genre wayang ke dalam hikayat perjuangan bangsa, sentimen ini tidak pernah hilang atau menyebar. Hingga awal 1960-an, komik masih dianggap sebagai bacaan sampah yang membosankan, tidak mendidik, dan subversif. Meski tidak pernah ada larangan resmi dari pemerintah, komik dan pembakaran terjadi dimana-mana.

“Dulu, membawa komik itu seperti mencari bahaya. Humor adalah dua buah pertahanan, kata Dr. Bonnef telah menjadi buah terlarang,” tulis Arsendo dalam “The Unloved Comic Strip”, terbitan The Compass (10 Agustus 1979).

Pers Di Masa Orde Baru

Tidak adanya humor yang tidak masuk akal dan ketentuan diskriminasi tidak boleh digunakan sebagai generalisasi karena “humor yang baik” memang terjadi. Jumlah ini sangat kecil dibandingkan dengan banyaknya konten erotis dan kekerasan. Menurut pengamatan Marcel Bonnef dalam Komik Indonesia (2001), “komik sampah” secara komersial lebih diminati dan menguntungkan.

Kecenderungan ini mulai merebak sekitar tahun 1965. Komik dan kartun romansa remaja biasanya mengeksplorasi erotisme dan kekerasan. Komiknya penuh dengan cross-dressing gender, pertunjukan cinta yang kasar, seni bela diri berdarah, dan cercaan rasial. Itu masih disatukan oleh plot dan cerita yang riang.

“Dan dalam hal ini, apapun bisa dijual. “Komik sampah, siapa yang salah?” Warna darah (komik sult), rangsangan seks (komik roman), dan mengapa terkadang tidak muncul? Diterbitkan di Kompas (14 Agustus 1979).

Bagaimana hasilnya? Komik buruk diproduksi oleh seniman komik setengah matang. Mereka biasanya masih muda, belum berpengalaman karena baru mencoba masuk ke bisnis penerbitan, dan belum matang secara artistik. Selama mereka memproduksi komik yang laris di pasaran, mereka bisa dengan mudah masuk ke penerbitan.

Menguatnya Peran Negara Dan Dampak Bagi Masyarakat Pada Masa Orde Baru

Oleh karena itu, penerbit merupakan basis kedua bagi pendistribusian komik sampah. Kebanyakan dari mereka justru bertingkah seperti pebisnis yang lebih mementingkan keuntungan besar daripada kualitas. Tidak ada seleksi mendalam terhadap naskah yang diserahkan kepada editor. Seringkali penerbit ini hanya mempertimbangkan nama-nama komikus, dan jika mereka sudah dikenal atau setidaknya menerbitkan beberapa judul, mereka akan segera mencetaknya.

Hingga awal tahun 1966, pemerintah tidak mengambil tindakan nyata untuk mengatur produksi komik. Polisi memantau komik untuk konten satir dan membuat semacam “daftar hitam” artis komik, tetapi hukumannya tidak jelas dan bias politik merembes. Ambil contoh, artis satir Ganes TH, yang masuk daftar hitam karena kesehariannya bekerja untuk Warta Bakti sayap kiri.

Komikus dan penerbit komik tentu menginginkan produksi yang lebih aman, namun ketidakjelasan regulasi membuat mereka bingung. Tak heran jika banyak kelompok masyarakat yang sering beraksi sendiri, memamerkan, menyerang bahkan merusak komik.

“Untuk saat ini, nasib komik Indonesia tidak menentu, kebanyakan dalam bentuk komik. “Tidak ada yang tahu apakah komik itu urusan Anak dan Remaja Polri atau sejalan dengan terbitan berkala yang dipantau Kementerian Penerangan,” tulis Bonneff (hlm. 42).

Padigma Kebijakan Politik Kerukunan Antaraagama Di Indonesia Pada Masa Orde Baru Dan Masa Reformasi

Pemerintah Mengatur Komik Sejak saat itu pemerintah mulai memperhatikan komik dan berusaha “mengaturnya” dengan prinsip-prinsip moral. Kementerian Pendidikan telah memperkenalkan standar sindiran yang baik. Hal ini kemudian menjadi pedoman bagi guru untuk memantau pembelajaran siswa.

Menurut Depdiknas, humor yang baik harus dalam bahasa yang baik dan sesuai dengan usia anak, seperti dilansir Harian Kompas (30 Mei 1966). Komik harus mengemban tugas mendidik anak untuk berbuat baik.

“Gambar-gambar dalam buku tidak boleh bernada seksual,” saran Moh. Kompas mengutip Wakil Menteri Pendidikan Dasar saat itu.

Selain itu, pemerintah juga telah membentuk komisi untuk meneliti Sergam. Banyak instansi pemerintah yang terwakili disini, mulai dari Kementerian Pendidikan, Kementerian Penerangan, Kementerian Kehakiman, Kementerian Sosial dan tentunya Kepolisian. Organisasi ini juga beranggotakan beberapa pihak yang berkepentingan dengan komik, seperti komikus, penerbit, organisasi mahasiswa, dan anggota MPR.

Kebijakan Moneter Dan Deregulasi Perbankan Masa Orde Baru

Agensi memutuskan bahwa komik akan ditinjau sejak dalam bentuk manuskrip. Komik yang lolos review kemudian dilisensikan untuk diterbitkan, meskipun proses ini belum wajib. Penerbit yang tidak mau repot memilih prosedur ini.

“Penelitian ini berfokus pada karakteristik sebagai berikut: tidak anti-pancasila, tidak mengandung doktrin Marxis-komunis, tidak konfrontatif, menyenangkan, mendidik, sehat dan tidak bermusuhan,” Arcendo menulis.

Setelah berjalan lebih dari setahun, badan pengawas diserahkan ke polisi. Di kota-kota seperti Jakarta dan Bandung yang industri komiknya besar, polisi harus membentuk satuan khusus untuk memantau komik. Di antara lembaga pengawasan yang paling menonjol adalah Dinas Kebudayaan, yang didirikan pada bulan September 1967 oleh Mabes VII Jakarta Raya (Kodak Jaya).

“Karena polisi memantau produk komik, hampir selalu ada stempel di halaman terakhir yang menunjukkan izin untuk mencetak dan mendistribusikan. Stempel ini mencantumkan tanggal dan tempat komik diperiksa sebelum diedarkan,” tulis Bonneff (hlm. 49).

Harmonisasi Budaya Pada Masa Pandemi

Departemen Pengembangan Kebudayaan tidak hanya mengawasi komik. Karyanya juga mencakup iklan film, fotografi produk, dan serial. Sementara di Bandung, tugas pengawasan ini diserahkan ke Bagian Perlindungan Anak.

Penyimpangan Pada tahun-tahun awal sistem pelacakan ini, semuanya tampak berjalan dengan baik. Sementara seniman dan penerbit buku komik dapat beroperasi dengan aman selama mereka mengikuti aturan, pendidik dan orang tua mungkin skeptis.

Departemen Pembinaan Kebudayaan memiliki petugas yang ditunjuk berpangkat inspektur sebagai pembaca khusus dan evaluator komik. Bonneff mengatakan pedoman penilaian yang digunakan petugas adalah pancsila. Perintah Tuhan dengan jelas melarang unsur-unsur ateisme. Ketetapan kemanusiaan jelas untuk memotong gambar-gambar porno dan sadisme.

Perlu juga diingat bahwa tahun 1967 adalah awal dari tatanan baru. Berbeda dengan era Sukarno dengan “politik komando”, rezim baru ini menolak membiarkan ide-ide politik menjadi komik. Tiga prinsip lainnya—keadilan sosial, musyawarah, dan nasionalisme—dirancang sebagai firewall untuk mencegah politisasi humor.

Faktor Penyebab Jatuhnya Pemerintahan Orde Baru, Salah Satunya Krisis Moneter

“Namun, seniman komik tidak pernah mau mengambil risiko terlibat dalam isu-isu seperti isu politik. Tidak ada kasus terkait kebijakan sejak pengawas didirikan. Di sisi lain, kesetiaan dan seksualitas menjadikan isi komik paling berwarna,” tulis Bonneff (p. 76).

Selain pembatasan tersebut, tidak ada peraturan lain yang mengatur lebih lanjut apa yang bisa dan tidak bisa ditarik. Ini kemudian menjadi pedang bermata dua. Petunjuknya tampak fleksibel dan mudah diikuti, tetapi itu sebenarnya membuat definisinya pendek dan sangat subyektif.

Beberapa komedian tertindas oleh aturan punkass berwajah karet. Komik romansa remaja karya Yan Mintaraga, Zaldi Armendariz, dan Sim ini dikritik karena menampilkan terlalu banyak adegan percintaan.

Teguh Santos yang dikenal dengan komik roman sejarahnya juga diulas. Salah satu komik dengan adegan erotis diblokir dengan cat hitam dan bertuliskan “Cek!” Ia bahkan diinterogasi polisi karena dianggap sering memasukkan erotika dalam komiknya.

Pdf) Revolusi Pemerintahan, Sudahkah Berevolusi? Kolokasi Adjektiva Kata “indonesia” Dalam Coca Dan Coha Pada Periode Pemerintahan Orde Lama, Orde Baru Dan Era Reformasi

Teguh tidak mau menurut dan menolak pemeriksaan polisi. Tidak diragukan lagi, itu menunjukkan erotisme yang ada dalam masyarakat Indonesia dari tahun-tahun terakhir kehidupan. Contoh yang bagus: patung Loro Jonggrang di Candi Prambanan.

“Bahkan monumen candi dari masa Hindu-Buddha, yang dikenal sebagai cikal bakal komik Indonesia, memuat adegan perempuan, termasuk telanjang. Jadi apa yang harus dilakukan dengan kuil? Budaya kita sendiri juga penuh dengan erotisme,” kata Teguh, seperti yang diutarakan putranya Dani Valiandra dalam antologi kegelapan karya maestro Teguh Santosa (2016, hlm. 33).

Sumber masalah lain dengan jenis pengawasan ini adalah ketidakkonsistenan polisi. Kompas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like