Pers Pada Masa Orde Lama

Pers Pada Masa Orde Lama – Pers adalah media massa yang menyajikan atau menyebarluaskan informasi berdasarkan keterbukaan dan kejujuran dalam pemberitaan. Pers, dengan posisinya sebagai media massa, seharusnya memiliki hak untuk tidak mengeluarkan pendapat berdasarkan fakta, sesuai dengan kode etik pers. Perkembangan pers terbagi menjadi dua periode, yaitu periode pra reformasi dan periode rekonstruksi.

Periode ini ditentukan oleh kepemimpinan Presiden Sukarno dan Soeharto dan dikenal sebagai periode Orde Lama dan Orde Baru. Pada zaman orde lama, keberadaan pers selalu dipengaruhi oleh kehadiran negara-negara asing yang pernah menjajah Indonesia, khususnya Belanda. Pers dikuasai Belanda untuk menguasai Indonesia. Dari tahun 1950 hingga 1959, pers dikuasai oleh tren politik, karena kepentingan partai politik mendominasi informasi yang diterbitkan oleh pers. Ini bisa terjadi karena partai politik menjadi donatur perusahaan pers. Meski pers bersifat partisan, para pengamat dapat mengatakan bahwa kebebasan pers saat ini berada di masa keemasan (Pratama, 2020).

Pers Pada Masa Orde Lama

Kondisi pers pada masa demokrasi terkemuka tahun 1959 mengalami krisis kebebasan. Di mana pemerintah mulai bertindak otoriter, pers dijadikan alat revolusioner untuk mendukung kebijakan-kebijakan yang ditentukan pemerintah. Pers pro komunis, pers berpihak pada ideologi NASAKOM yang digagas oleh Presiden Soekarno. Pers di era demokrasi terpimpin dapat dikatakan sebagai masa tergelap pers di era Orde Lama (Pratama, 2020).

Maklumat Pwi Pusat, Kemerdekaan Pers Adalah Keniscayaan

Penggulingan kepemimpinan Presiden Soekarno dimulai dengan pergantian Presiden Soeharto dan pemerintahan Orde Baru pada tahun 1964. Pada periode ini, undang-undang pers pertama diadopsi, yaitu UU No. 1. 11 Tahun 1966 dan UU No. 21 Tahun 1982 (Khutagungul, 2013). Keberadaan undang-undang tentang pers ini seolah merupakan respon atas peristiwa masa lalu, ketika pers ditutup oleh peraturan pemerintah. Namun, dua tahun setelah Peraturan Menteri Penerangan (PERMENPEN) No. 01/Pers/Menpen 1984, yang menyatakan bahwa perusahaan pers yang ingin didirikan harus memiliki Surat Izin Penerbitan Pers (SIUPP). Hal ini bertentangan dengan Pasal 8 ayat 2 UU No. 11 Tahun 1966, yang menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak menerbitkan pers bersama sesuai dengan hakikat demokrasi Pancasila, oleh karena itu tidak diperlukan Surat Izin Penerbitan (SIT). (Imran, 2016).

Pers harus menyebarkan berita ini sesuai kehendak pemerintah “Orde Baru”, agar fungsi pers tidak disalahgunakan sebagai alat propaganda. Selain sebagai alat propaganda, pers juga dimanfaatkan oleh penguasa “Orde Baru” sebagai alat persekusi. (Khutagalung, 2013). Misalnya, pers digunakan sebagai alat represi, yaitu pada tahun 1996 anggota Partai Demokrasi Rakyat Tajikistan dan keluarga Partai Demokrasi Rakyat Tajikistan diteror oleh penguasa “Orde Baru” karena demokrasi di media massa dengan topik pengkhianatan dan komunisme. gerakan Dengan demikian, akibat dari terorisme adalah anggota PRD dan keluarganya mengalami stres dan trauma yang hebat (Hutagalung, 2013). Penindasan kebebasan pers oleh pemerintah membuat pers tidak mampu menjalankan perannya sebagai penyalur aspirasi rakyat. Menurut Panglaikim dan Thomas (1967) pada awal pemerintahan Orde Baru, alasan pelarangan media massa adalah untuk mencapai program stabilisasi dan rekonstruksi dengan melarang surat kabar atau majalah berpandangan komunis, seperti Harian Rakjat dan Bintang Timur. .

Pada tahun 1980, majalah Tempo ditutup karena memberitakan kampanye partai Golkar yang mengalami kerusuhan. Dengan adanya SIUPP, pers yang mengganggu stabilitas pemerintahan berhak dicabut izin penerbitannya oleh Kementerian Penerangan, seperti Sinar Harapan dan Prioritas, yang akibatnya dibredel. Pembubaran SIUPP (Imran, 2016). Pada Mei 1984, majalah Focus dicabut izin terbitnya karena memuat informasi yang menurut pemerintah dapat memperburuk prasangka sosial (Ariyanti, 2010). Larangan penerbitan pers berlanjut hingga tahun 1990, ketika majalah Tempo, Detik dan Editor mengalami hal yang sama dengan alasan yang sama, yaitu mengganggu keamanan dan ketertiban negara (Imran, 2016).

Menurut pemerintah Orde Baru, pemberitaan pers hanya akan memperparah keadaan karena pers dianggap memberitakan sesuatu tanpa memahami isi beritanya. Pemerintah mengontrol kebebasan pers dengan cara memberitahukan kepada pemimpin redaksi atau penerbitan dalam bentuk surat atau telepon jika ada berita yang bertentangan dengan kehendak pemerintah, sedangkan cara lain kebebasan pers. Mengontrol bukanlah mengajar. Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) dengan anggota dewan pers yaitu wakil pemerintah, wakil organisasi media dan ahli media yang yakin bahwa organisasi ini tidak lepas dari kendali pihak tertentu (Murtiningsih). , 1999).

Pdf) Jurnal Kelompok 4, Pers Dan Jurnalistik Orde Lama Fix (1)

Pemerintah Orde Baru memberikan alasan lain pelarangan surat kabar, yaitu adanya unsur politik dimana era Orde Baru menggantikan era Orde Lama dengan pemerintahan otokratis yang justru membutuhkan dukungan publik untuk keberadaannya. Orde Baru dan kekhawatiran terhadap publikasi HAM yang merugikan kinerja pemerintahan Orde Baru, seperti media Tempo yang memberitakan kasus Marsina sebagai laporan besar pada Maret 1994 (Haritajaya, 2017).

Tindakan pelarangan pers berdampak pada pers itu sendiri, dimana pers kehilangan karakter profesionalnya, karena harus berkompromi agar tidak melakukan pelarangan. Ada sejumlah jurnalis yang dihukum tanpa peradilan yang adil, berpura-pura bahwa kesalahan ada di tangan pers, hanya karena menerbitkan majalah tanpa SIUP dan bahkan menulis berita yang tidak disukai penguasa. . (Haritajaya, 2017)

Pada 7 Agustus 1994, Persatuan Wartawan Indonesia (AJI) didirikan sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap aktivitas Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang hanya mendukung kepentingan pemerintah dan Birokrasi Kementerian Penerangan (Haritajaya, 2017). ). Dengan demikian, kebijakan “Orde Baru” – hanya mampu mengelola organisasi pers setelah munculnya organisasi pers non-PWI menghilang.

Pembubaran pemerintahan orde baru di bawah kepemimpinan presiden soeharto dan segala perjuangan kebebasan pers dilakukan oleh wakilnya yaitu b. Masa reformasi terus berlanjut di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi. Hampir semua kebijakan pemerintah pada masa kepemimpinan Presiden B. Kebijakan pertama yang dikeluarkan pemerintah adalah UU No. 222. 40 tahun 1999 tentang Pers. Pasal 9 ayat 2 UU No. 40 Tahun 1999 menghapus kewajiban pers memiliki SIUPP dalam siaran persnya. Selain itu, menurut Pasal 2 Pasal 4 UU No. 40 Tahun 1999, pers dilindungi dari tindakan pelarangan, penyensoran, dan pelarangan penyiaran. Pemerintah juga mengenakan denda $500 juta bagi mereka yang menghalangi kebebasan pers (Trivahyno, 2012).

Sejarah Hari Pers Nasional: Perayaan Yang Lahir Di Tengah Hobi Orba Memberedel Media Massa

Untuk mendukung PERMENPEN baru tentang tidak diwajibkannya SIUPP, telah diterbitkan juga SK No. 1 32/7998 tentang Ketentuan memperoleh SIUPP yaitu semula harus memenuhi 16 syarat, sekarang tinggal memenuhi. 3 syarat (Susilastuti, 2000). Dalam masa rekonstruksi ini, pers seolah merasakan hembusan angin surga dan jarak politik atas pers. Pencabutan pengakuan pemerintah terhadap PWI sebagai satu-satunya organisasi pers akan mengembalikan peran pers sebagai media massa yang tidak dikontrol oleh pemerintah. Dengan demikian, organisasi pers seperti AJI, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dan PWI reformasi muncul (Martini, 2014).

Setelah itu, pemerintahan Presiden berikutnya, Abdul Rahman Wahid, mengeluarkan kebijakan pembubaran Departemen Pertahanan sebagai kelanjutan dari pembatalan kewajiban SIUPP di bawah Presiden B.J Habibie. Alasannya, Kementerian Pertahanan tidak dianggap sebagai lembaga independen, melainkan mitra otoritas dalam rangka mencegah akses kebebasan pers (Arnus, 2015). Pemerintah kini dapat mengontrol dan berkomunikasi dengan media melalui mediasi dewan pers. Dewan Pers bertanggung jawab untuk memantau kegiatan pers, menentukan pelaksanaan kode etik pers, dan bertindak sebagai mediator antara pemerintah, organisasi pers, dan masyarakat untuk mencegah konflik berbahaya (Trivahyno, 2012).

Pers yang bebas adalah cita-cita masyarakat, karena pers adalah salah satu media. Tentu saja, pers yang bebas harus bertanggung jawab atas informasi yang diterbitkannya. Menurut prinsip pers yang digagas oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tetap ada pers bebas yang bertanggung jawab terhadap pers, karena media tidak bertindak semena-mena terhadap berita yang diberitakannya karena dianggap memiliki kemampuan dan kekuasaan atas media. (Arnus, 2015). Hingga akhir masa jabatannya, pers terus mengalami kemajuan di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pers berubah dari surat kabar cetak menjadi media online (Arnus, 2015). Perkembangan pers mempengaruhi perkembangan teknologi Indonesia. Namun sangat disayangkan seiring dengan kemajuan pers, di sisi lain kebebasan pers beberapa kali dikriminalisasi, misalnya dibuka kasus pidana terhadap kontributor Metro TV Makassar yaitu Upi. Asmaradhana, yang melaporkan hal ini. ke polisi digugat oleh Kapolres Sulawesi Barat Daya yaitu Sisno Adivinoto atas pencemaran nama baik dan sebesar 10 Miliar rupiah, namun dakwaan tersebut tidak terbukti, Pengadilan Negeri Makassar dibebaskan pada Senin, 14 September 2009. Upi Asmaradhana (Penerbit, 2015).

Ini mungkin membuktikan bahwa yang baik harus datang setelah yang buruk. Reformasi merupakan sarana untuk mencapai kemerdekaan pers bagi para wakil pers, oleh karena itu sudah selayaknya pers di era reformasi ini memberikan ruang gerak yang lebih besar kepada pers setelah terjadinya kerancuan sistem lama dan era sistem baru. . Ada tiga indikator dalam pengukuran kebebasan pers, yaitu indikator hukum tentang kebijakan pemerintah tentang kebebasan pers, kebijakan tanpa campur tangan dan bersih, dan ekonomi tentang pemerataan dan kesetaraan (Hantoro, 2019). Namun, pemerintah saat ini belum mampu memenuhi ketiga indikator tersebut. Pers saat ini, di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, kebebasan pers mengalami penurunan di beberapa daerah, salah satunya di Papua. Akses pers untuk meliput kondisi di Papua sulit, seperti diketahui dalam lima tahun terakhir, dugaan pelanggaran HAM terhadap masyarakat Papua semakin meningkat (CNN Indonesia, 2019).

Sejarah Perkembangan Surat Kabar Periodisasi Perkembangannya

Pers mengalami masa sulit

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like