Kota Sabang Terletak Di Pulau

Kota Sabang Terletak Di Pulau – Abstrak. Studi ini dilakukan pada tahun 2015 dan merupakan kerjasama antara Universitas Syiah Kuala dan BAPPEDA Aceh. Tujuannya adalah untuk memahami penyebab kemiskinan di masing-masing 23 kabupaten/kota, serta menilai tingkat efektivitas program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan dan kemudian menemukan strategi yang tepat untuk mempercepat penanggulangannya. Artikel ini menyajikan temuan kemiskinan dan rekomendasi untuk kota Sabang saja. Sebanyak 80 orang miskin dipilih melalui proses observasi, wawancara dan kuesioner. Mereka berasal dari empat desa di dua kecamatan yang berbeda di Kota Sabang dan merepresentasikan karakteristik desa nelayan dan pertanian dalam hal jarak terjauh dan terdekat dari ibukota kecamatan (desa dan kota). Wawancara mendalam juga dilakukan dengan pejabat yang berkepentingan dan tokoh masyarakat. Hasil awal survei dibahas secara berurutan

(FGD) mulai dari tingkat poviat/kota hingga tingkat provinsi. Para ahli memberikan analisis mendalam tentang hasil penelitian. Data sekunder lain yang mendukung temuan penelitian diperoleh dari berbagai penelitian dan publikasi resmi pemerintah. Hasil kajian menunjukkan bahwa penyebab utama tingginya angka kemiskinan di Kota Sabang yang mencapai 17,02 persen pada tahun 2014 (di atas rata-rata kemiskinan Aceh sebesar 16,98 persen) adalah faktor struktural, budaya dan alam. Berbagai program bantuan ekonomi dan pengentasan kemiskinan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah, provinsi dan pusat memiliki tingkat efektivitas yang berbeda. Terdapat potensi ekonomi yang besar untuk pengentasan kemiskinan, pengembangan dan pemberdayaan rumah tangga miskin, tentunya dengan mempertimbangkan karakteristik lokal yang berbeda.

Kota Sabang Terletak Di Pulau

Kondisi geografis umum. Sabang merupakan negara kepulauan yang terletak antara 5°46’28” dan 5°54’28” Lintang Utara dan 95°13’12” hingga 95°22’36” Bujur Timur. Wilayah administrasi kota ini meliputi lima pulau: Pulau Weh (Sabang), Pulau Rubiah, Pulau Seulako, Pulau Klah dan Pulau Rondo. Sebagai kota paling barat di Indonesia, Sabang memiliki luas wilayah 122,41 km2 dan ketinggian rata-rata 28 meter di atas permukaan laut. Topografi menunjukkan bahwa wilayah Sabang terdiri dari 48,17% pegunungan, 31,70% dataran bergulir, 14,10% dataran miring dan hanya 6,03% lereng atau dataran (BPS, 2014).

Benteng Jepang Sabang Anoi Itam: Wisata Sejarah Yang Wajib Dikunjungi Di Pulau Weh

Kondisi administratif dan demografis secara umum. Secara administratif kota ini memiliki 2 kecamatan, 7 kelurahan, 18 gampon/desa dan 72 jurong. Sedangkan jumlah penduduknya 32.191 jiwa, terdiri dari 16.444 laki-laki dan 15.747 perempuan. Laju pertumbuhan penduduk selama setahun terakhir mencapai 1,29 persen, dengan kepadatan penduduk 264 jiwa/km2. Komposisi penduduk terbesar adalah kelompok umur 0-14, yaitu 31 persen, dan kelompok umur 20-39 – 35 persen. (BPS, 2014).

Seperti pemerintah kota lainnya di Aceh, Kota Sabang memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang baik. Statistik menunjukkan bahwa dibandingkan dengan pemerintah kabupaten, pemerintah kota Aceh umumnya memiliki peringkat IPM tertinggi. Pada tahun 2013, Kota Sabang menduduki peringkat ketiga dengan skor IPM tertinggi (77,23) setelah Kota Banda Aceh (79) dan Kota Loxumawe (77,84). Kota Langsa, sebaliknya, menempati urutan keempat (75,10).

Kemiskinan di Kota Sabang terus menurun dengan peningkatan APBK yang signifikan, namun hal ini kontras dengan angka kemiskinan di pemerintahan kota lainnya di Aceh. Dalam hal kemiskinan, pemerintah kota lain di Aceh pada tahun 2014, seperti Kota Banda Aceh (7,78 persen), Kota Loxumawe (11,93 persen), dan Kota Langsa (12,08 persen), menjadi tiga kota dengan tingkat kemiskinan terendah di Aceh pada tahun 2014. . Sementara itu, kota Sabang (dengan angka kemiskinan 17,02%) menempati urutan ke-12 dan memiliki angka kemiskinan lebih tinggi dari rata-rata Aceh (16,98%). Pendapatan APBK Kota Sabang meningkat 56 persen dari Rp 268,9 miliar menjadi Rp 427 miliar antara tahun 2007 dan 2013. Sementara kemiskinan menurun rata-rata 1,3 persen per tahun, turun dari 27,13 persen (2007), 25,7 persen (2008), 23,89 persen (2009), 21,68 persen (2010), 21,31 persen (2011), 20,51 persen (2012). masing-masing 18,31 persen. (2013) dan 17,02 persen. (2014). Hal ini merupakan indikasi bahwa kinerja penanggulangan kemiskinan Kota Sabung selama 6 tahun terakhir berjalan lambat dibandingkan dengan pertumbuhan APBK. Inefisiensi dan ketidakefisienan penggunaan anggaran yang dirasakan oleh pemangku kepentingan di Kota Sabang menjadi salah satu penyebab terjadinya paradoks kemiskinan ini.

Kelompok kepala keluarga miskin terbesar di Kota Sabang adalah lansia. Sekitar 60 persen rumah tangga miskin yang menjawab survei ini dikepalai oleh laki-laki. Sisanya 40 persen. adalah perempuan, baik yang mengurus rumah tangga maupun yang mewakili kepala rumah tangga pada saat wawancara. Usia rata-rata kepala rumah tangga miskin adalah 50,6 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 70% dari kepala rumah tangga miskin berada pada kelompok usia di atas 40 tahun. Secara spesifik, 25 persen kepala rumah tangga miskin Kota Sabang berusia 40-50 tahun. Lalu 24 persen berusia di atas 60 tahun, dan 21 persen adalah 50-60 tahun. Sedangkan kepala rumah tangga miskin relatif muda, yakni 21-30 tahun, hanya 11 persen. Kemiskinan di usia tua tentu akan memperburuk situasi perawatan seluruh keluarga. Karena mereka yang lebih tua cenderung memiliki lebih banyak anggota keluarga dan tanggungan.

Menikmati Indahnya Pantai Sumur Tiga Kota Sabang

Tingkat kemiskinan penduduk asli sedikit lebih tinggi daripada penduduk pendatang. Kajian tersebut juga menunjukkan bahwa 55 persen kepala rumah tangga miskin tersebut adalah penduduk asli yang sudah lama tinggal atau lahir di kota Sabang. Sedangkan 45 persen sisanya merupakan pendatang yang sudah menjadi penduduk Kota Sabang. Selain itu, studi juga menemukan bahwa 5 persen kepala rumah tangga miskin adalah orang formal, 6 persen orang informal, dan sisanya 89 persen warga biasa.

Rata-rata keluarga miskin memiliki 4 anggota keluarga. Jumlah anggota keluarga sangat bervariasi, dari minimal 1 orang hingga maksimal 8 orang. Namun, lebih dari 56 persen melibatkan 2-4 orang dan biasanya termasuk suami, istri dan anak. 36 persen memiliki 5-8 anggota keluarga. Ketika tidak lebih dari 8 orang ditemukan. 8 persen adalah mereka yang hidup sendiri karena berbagai alasan, seperti perceraian, ditelantarkan pasangan, status belum menikah, atau berpisah dari rumah dengan anak-anak dan anggota keluarga lainnya.

Pendapatan kotor bulanan kepala rumah tangga miskin bervariasi dan tidak teratur serta di bawah upah minimum kota Sabangana (UMK). Rata-rata pendapatan bulanan rumah tangga miskin di Sabang adalah Rp 1.016.875. Secara spesifik, 46 persen rumah tangga miskin memiliki pendapatan antara Rp500.000 dan Rp1.000.000 per bulan. Mereka yang berpenghasilan Rp 1.000.000 – Rp 1.500.000 per bulan merupakan 26 persen dari populasi. Sebaliknya, mereka yang berpenghasilan Rp 1.500.000 – Rp 2.000.000 per bulan mencapai 8 persen. Setiap orang yang penghasilan bulanannya tidak melebihi Rp2.000.000,- atau UMK. Sementara itu, hanya 20 persen yang hidup dengan kurang dari Rp 500.000 per bulan. Rendahnya pendapatan kepala rumah tangga miskin diperparah dengan banyaknya anggota keluarga yang menjadi tanggungan dan minimnya jumlah anggota keluarga yang bekerja.

Sebagian besar kepala keluarga miskin bekerja sendiri untuk menghidupi seluruh anggota keluarganya. Sebanyak 60 persen kepala rumah tangga miskin menghidupi penuh 2-4 anggota keluarga. Sedangkan 19 persen dari sisa kepala keluarga ditopang oleh 5-8 anggota keluarga. Hanya 21 persen yang hanya memiliki satu anggota keluarga. Sementara studi menunjukkan bahwa 70 persen kepala rumah tangga bekerja sendiri untuk tanggungan anggota keluarga. 23 persen keluarga miskin lainnya memiliki 2 orang yang bekerja. Hanya 5 persen lainnya yang memiliki lebih dari 2 pekerjaan, tetapi biasanya bukan pekerjaan tetap.

Kilometer Nol Sabang, Destinasi Wisata Di Ujung Barat Indonesia

Pekerjaan utama anggota keluarga miskin adalah bekerja. Anggota keluarga lainnya biasanya bekerja sebagai buruh, nelayan dan petani. Sisanya adalah penjualan kue, bengkel, jasa kebersihan, penjualan es, penjualan pisang goreng, besi bekas, satpam, menjahit, bekerja di toko rakyat dan lain-lain. Sementara itu, ditemukan juga 3 persen. keluarga miskin tidak bekerja sama sekali. Kelompok ini termasuk para janda tua yang tinggal sebatang kara. Dalam hal pekerjaan, sangat sedikit istri yang juga bekerja karena kurangnya keterampilan serta faktor budaya yang memposisikan perempuan semata-mata untuk urusan rumah tangga.

Sebagian besar kepala keluarga miskin di Kota Sabang hanya tamat SD, dan survei tidak menemukan ada orang yang mengenyam bangku kuliah. Mayoritas kepala rumah tangga miskin, mencapai 38%, hanya tamat Sekolah Dasar (SD). Persentase terbesar kedua, yaitu 28 persen, adalah lulusan sekolah menengah pertama (SMP). Sementara itu, hanya 15 persen yang tamat Sekolah Menengah Atas (SMA). Studi tersebut menunjukkan bahwa tidak satupun dari mereka telah mencapai tingkat studi ketiga. Di sisi lain, penduduk yang tidak pernah sekolah juga sangat tinggi, mencapai 20 persen. Biasanya mereka yang tidak pernah bersekolah berusia lebih tua. Survei juga menemukan bahwa 3 persen rumah tangga miskin memiliki anak usia sekolah yang putus sekolah. Angka ini tentu tidak signifikan, namun churn rate pasti akan menyebabkan kemiskinan di masa depan. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang rendah mengakibatkan tingkat pengetahuan, pola pikir dan keterampilan yang rendah, yang mempengaruhi jenis pekerjaan dan pada akhirnya berkontribusi pada tingkat kemiskinan.

Sebagian besar kepala keluarga miskin di Kota Sabang sudah menikah, namun pasangannya biasanya tidak memiliki keterampilan atau pekerjaan. Hanya 3 persen kepala rumah tangga miskin yang lajang/belum menikah. Sedangkan 71 persen sudah menikah. Kemiskinan lebih nyata bila dikaitkan dengan status pasangan rumah tangga. Suami dirugikan karena berbagai alasan, seperti kurangnya keterampilan dan pekerjaan. Istri juga sama, biasanya tidak punya keterampilan atau kegiatan produktif selain duduk di rumah menunggu apa yang dibawa pulang oleh suami. Demikian pula, anak-anak dari keluarga miskin yang biasanya tamat SMA juga tidak memiliki keterampilan dan pekerjaan. Kondisi ini semakin menambah beban dan tanggung jawab keluarga. Selain itu, 26 persen penduduk miskin masuk dalam kategori duda/janda miskin. Ada orang yang bercerai, tetapi kebanyakan adalah janda dari almarhum suami. Kebanyakan dari mereka sudah tua dan tidak bisa bekerja. Hidup mereka hanya bergantung pada santunan pemerintah (Ruskin), bantuan dari keluarga atau tetangga.

Perdagangan/jasa yang diikuti oleh penangkapan ikan (nelayan)

Pantai Teupin Ciriek Sabang: Tempat Wisata Pantai Baru Di Sabang Dengan Pemandangan Memukau

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like