Kegagalan Pembangunan Ekonomi Di Indonesia

Kegagalan Pembangunan Ekonomi Di Indonesia – Blog ini berisi makalah, publikasi penelitian, rangkuman dan ulasan terkait kajian ilmu sosial dan humaniora, khususnya sosiologi, oleh Wahyu Budi Nugroho [S.Sos., M.A]. Besar harapan kami agar pembaca yang tertarik dengan studi ilmu sosial dan humaniora dapat memanfaatkan berbagai temuan penelitian dari blog ini secara tepat, bijaksana dan bertanggung jawab.

Kita harus membedakan antara kalimat “pembangunan ekonomi” dengan kalimat “pertumbuhan ekonomi” dan “pembangunan ekonomi” agar makna yang terkandung dalam masing-masing kalimat tersebut jelas dan meminimalisir kerancuan dalam penafsiran. Menurut Soemitro Jojohadikusumo, frasa “pembangunan ekonomi” mengacu pada dinamika ekonomi dari perspektif aliran klasik, frasa “pertumbuhan ekonomi” mengacu pada dinamika ekonomi dalam kerangka aliran neoklasik dan neo-Keynesian, sedangkan frasa “ekonomi pembangunan” mengacu pada masalah ekonomi yang dihadapi negara-negara, yang sedang berkembang.[1]

Kegagalan Pembangunan Ekonomi Di Indonesia

Model atau strategi pembangunan ekonomi biasanya diartikan sebagai pendekatan yang digunakan untuk mencapai tujuan pembangunan yaitu tercapainya kesejahteraan manusia. Revisond Basvir menegaskan bahwa ada dua “grand strategy” pembangunan ekonomi dunia, yaitu model strukturalis dan model neoklasik. Model atau strategi strukturalis menekankan pada perubahan struktur, sistem, berbagai pranata, atau pranata sosial yang ada dalam suatu masyarakat dan kehidupan demokrasi di dalamnya, sebelum pembangunan ekonomi dimulai, dengan harapan dapat memperkecil kerugian pembangunan ekonomi.[2] ] Strategi ini dipopulerkan antara lain oleh Raul Prebish, C. Furtando, dan Dos Santos.[3] Sebaliknya, strategi neoklasik yang diusung oleh Hicks, Samuelson, Johnson, dan terutama Milton Friedman berpendapat bahwa kesejahteraan masyarakat akan tercapai dengan sendirinya ketika terjadi pembangunan massal melalui industrialisasi, yaitu dengan menunggu apa yang mereka sebut trickle-down effect.

Penurunan Populasi Cina: Hasil Dari Kegagalan Kebijakan Keluarga Berencana Dan Akan Mempengaruhi Dunia

Orde Baru muncul sebagai tanggapan atas penyimpangan ideologis dan kegagalan ekonomi Orde Lama. Penyimpangan ideologi terkait dengan relasi yang lebih condong ke Blok Timur, terbukti dengan pembagian dunia oleh Sukarno menjadi Oldefo dan Nefo serta pembentukan poros Jakarta-Beijing-Pyongyang.[5] Bagi banyak orang, kegagalan ekonomi Orde Lama identik dengan kegagalan program “ekonomi swadaya” Sukarno, yang diluncurkan oleh Deacon pada tahun 1963.[6] Sukarno, di mana dia menekankan pentingnya membela dirinya sendiri, menghujat IMF: “Persetan dengan bantuanmu!” Pada akhirnya, konsep ini (ekonomi mandiri) dianggap oleh banyak orang sebagai program utopis dan berakhir dengan jatuhnya Sukarno pada tahun 1966.

Istilah “orde baru” pertama kali muncul setelah Seminar Angkatan Darat/TNI II yang diadakan di SESKOAD Bandung pada tanggal 25-31 Agustus 1966, ketika negara masih diliputi konflik dualisme antara Sukarno dan Suharto. Istilah Orde Baru digunakan untuk membedakan rezim dan sikap mental Orde Lama. Orde Baru, secara normatif, adalah sistem politik dan ekonomi yang berdasarkan Pancasila, UUD 1945 dan memiliki rincian ideal dan operasional dalam ketentuan Sidang Umum MPRS IV.[7]

Sebaliknya, orde baru, dari sudut pandang A. Umar Saeed, sebenarnya adalah sebuah rezim yang diciptakan dan dipimpin oleh kekuatan militer, bertindak otoriter, korup dan mengorbankan jutaan nyawa manusia untuk berdirinya. Argumen ini tidak mengherankan, mengingat keterlibatan Orde Baru dalam pembunuhan massal simpatisan PKI pasca Gestok, pemenjaraan ratusan ribu orang tak bersalah[8], penculikan aktivis, peristiwa di Aceh, Irian Jaya, Khaur Koneng, Tanjung. Priok, penyerangan kantor DPI pada 27 Juli 1996, dst. [9]

Dari dua strategi utama pembangunan ekonomi yang ada, tampaknya Orde Baru di bawah Soeharto lebih condong ke model ekonomi neoklasik, yang dimotivasi terutama oleh keinginan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi negara-negara dunia pertama. karena penurunan ekonomi pemerintahan Sukarno, dimana produksi dan investasi di berbagai sektor telah menunjukkan penurunan sejak tahun 1950[10], serta jumlah utang luar negeri yang mencapai lebih dari 2000 juta dolar AS dan mempengaruhi tingkat inflasi sebesar 50% per bulan, [11] menurut kedua, fakta keberhasilan program Marshall Plan dalam membangun kembali Eropa setelah Perang Dunia Kedua. Dua alasan inilah yang kemudian menjadi pembenaran Orde Baru untuk “mengebiri” hak-hak politik rakyat, yakni lebih mengutamakan pembangunan yang terfokus pada reformasi ekonomi daripada aspek politik.

Pertumbuhan Ekonomi Dan Kesejahteraan Sosial

Pada awalnya kebijakan industrialisasi digagas oleh Soemitro pada tahun 1950-an, yaitu industrialisasi pada tingkat kecil, menengah, dan besar. Tampaknya ketika menjabat sebagai Menteri Perdagangan pada masa Orde Baru (1968-1973), gagasan industrialisasinya benar-benar terwujud. Dalam sejarahnya, Soemitro mendapat gelar doktor dari Sekolah Ekonomi Belanda, Rotterdam, tahun 1943, sehingga tidak mengherankan jika dalam bahasa Mubjarto dan Revisond Baswir dianggap sebagai “ekonom terjajah”, yaitu -dipilih atau dibatasi oleh romantisme neoklasik.[12] Ekonom kolonial lainnya yang berada di garis depan politik Orde Baru, antara lain Vijojo Nitisastro, Ali Vardhan, M. Sudley, Emil Salim dan Soebroto, sering disebut sebagai “Mafia Celi”.[13]

Menganalisis konsep pembangunan ekonomi Orde Baru dari tahun 1966 hingga 1998 (kurang lebih 32 tahun), akan lebih jelas dan ringkas dibagi menjadi beberapa periode, antara lain periode pemulihan ekonomi (1966-1973), periode oil boom (1974-1973). 1982) dan periode liberalisasi ekonomi (1982-1997). Masing-masing periode atau tahapan tersebut memiliki ciri dan ciri tersendiri, sehingga lebih mudah mensistematisasikan pemahaman konsep pembangunan ekonomi Orde Baru.

Masalah ekonomi Orde Lama merupakan beban berat yang diwarisi dari Orde Baru. Tak lama setelah menggantikan posisi Orde Lama, Orde Baru mengesahkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) pada tahun 1967, yang disusul dengan Undang-Undang Penanaman Modal Masuk. (UU PMDN) pada tahun 1968. Kedua kebijakan tersebut pada hakekatnya memberikan kesempatan yang lebih besar bagi investor dalam dan luar negeri untuk menanamkan modalnya di Indonesia, pada masa dimulainya industrialisasi Orde Baru.

Pada periode setelah dikeluarkannya kebijakan investasi tersebut di atas, pertumbuhan ekonomi yang signifikan tidak diragukan lagi terjadi. Sektor pertanian memiliki tingkat pertumbuhan rata-rata yang meningkat dari 1,4% per tahun pada lima tahun pertama tahun 1960-an menjadi 3,8% pada tahun-tahun berikutnya hingga tahun 1971 dan menjadi 3,7% pada periode 1971-1977. Namun setelah satu dekade setelah 1965, pangsa PDB yang berasal dari sektor pertanian turun dari 52% menjadi 35%, sedangkan pangsa PDB yang berasal dari pertambangan naik dari 3,7% menjadi 12%. Sektor konstruksi juga menunjukkan pertumbuhan yang signifikan, namun sektor lainnya (industri, perdagangan dan pengangkutan) menunjukkan pertumbuhan yang relatif lebih lambat.[14] Pada tahun 1970-1977, pangsa sektor industri dalam PDB meningkat dari 9% menjadi 12%, namun pertumbuhan ini juga dibarengi dengan penurunan pangsa sektor pertanian dan kenaikan tajam harga minyak dunia.[15]

Kinerja Perikanan Nasional Tercoreng Kegagalan Ekspor 2017, Kenapa Bisa Terjadi?

Ada perubahan tajam dalam tingkat investasi. Pengeluaran investasi meningkat dari 5% PDB pada tahun 1966 menjadi 20% pada tahun 1973. Hal ini kemudian menyebabkan ledakan pembangunan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Selain itu, pembangunan juga meliputi sektor irigasi, listrik, transportasi dan komunikasi.[16] Munculnya boom tersebut bukannya tanpa efek atau reaksi sebagai akibat dari kebijakan yang tidak pernah direvisi ini, pada tanggal 14 Januari 1974, yang bertepatan dengan kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka, sebuah fakta yang sering disebut-sebut. seperti yang terjadi MALARI atau malam dua minggu di bulan Januari, suatu bentuk demonstrasi dan aksi anarki massa yang dilakukan oleh para intelektual dan mahasiswa sebagai protes terhadap terbatasnya peluang investasi yang ditawarkan pemerintah Soeharto kepada investor asing karena dikhawatirkan dapat menguasai beberapa sektor penting, berhubungan dengan mata pencaharian masyarakat secara keseluruhan.[17]

Kebijakan neoklasik kemudian terbukti menjadi petaka bagi bangsa Indonesia akibat industrialisasi besar-besaran yang dilakukan Orde Baru. Melihat kembali analisis Revisond Baswir, menurutnya kriteria keberhasilan industrialisasi dapat dilihat melalui produktivitas dan efisiensi produktivitas. Artinya, industrialisasi yang sukses dapat dipastikan ketika ada “mekanisasi”, artinya lebih sedikit orang yang harus disuplai. tenaga kerja digunakan dan lebih banyak mesin menggantikan tenaga kerja, maka industrialisasi dapat dianggap berhasil. Sehingga dari waktu ke waktu lapangan kerja di sektor industri berkurang, peningkatan tajam jumlah tenaga kerja Indonesia akhirnya tidak bisa lagi bekerja di sektor ini, sehingga harus dialihkan ke sektor pertanian.[18]

Permasalahan yang ada saat ini adalah semakin tahun lahan yang tersedia untuk kegiatan pertanian semakin berkurang, sehingga pendapatan masyarakat semakin menurun sehingga sulit bagi masyarakat Indonesia untuk keluar dari kubangan kemiskinan. dan julukan “masyarakat agraris”.[19] Prof. Mubarto, di mana neoklasikisme sangat cocok untuk efisiensi, tetapi tidak untuk keadilan. [20]

Pada masa oil boom, kekayaan negara begitu melimpah akibat kenaikan harga minyak dunia sehingga bisa juga dikatakan masa kejayaan Orde Baru, di mana Pertamina berperan sentral.[21] Pada tahun 1973, produksi minyak Indonesia tercatat sebesar 1,3 juta barel per hari (b/d) dan harga minyak sekitar US$8 dengan jumlah penduduk 120 juta jiwa. Pada awal 1980-an, produksi dalam negeri mencapai 1,5 juta barel per hari dan harga minyak $15. dengan populasi 150 juta orang, kondisi ini berarti sektor minyak menyumbang antara 62% dan 67% dari pendapatan pemerintah.[22] Selain itu, pada saat pertumbuhan ekonomi telah mencapai 7,8%, pemerintah berupaya mengembangkan industri substitusi impor yang diharapkan dapat menggantikan penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian.

Gerakan Benteng, Wujud Perubahan Ekonomi Yang Malah Merugi

Pada periode ini terlihat perkembangan yang ditujukan untuk tujuan sosial seperti peningkatan kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, perbaikan struktur pasar, pembangunan daerah, transmigrasi, partisipasi masyarakat yang lebih besar dalam pembangunan, dan perhatian pada sektor pendidikan dan kesehatan. Pemerintah menaikkan hampir tiga kali lipat gaji pegawai negeri, membangun 15.000 sumber air dan 30.000 jamban umum di pedesaan, dan menyediakan dana yang signifikan untuk program pekerjaan umum di kabupaten dan desa, yang salah satunya dilaksanakan melalui Keputusan Pemerintah No. pengusaha. berbakat.[23]

Namun rangkaian catatan pembangunan emas sebelumnya bukan tanpa cacat, bahkan perilaku koruptif juga menunjukkan peningkatan yang signifikan. Bangkrutnya Pertamina pada 1975-1976 menyisakan utang $10 miliar, banyak protes yang dilontarkan mahasiswa turun ke jalan – memaksa Soeharto

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like