Ideologi Yang Pernah Berlaku Di Indonesia

Ideologi Yang Pernah Berlaku Di Indonesia – Pada tahun 2016, Presiden Joko Widodo membentuk Unit Kerja Presiden Pemantapan Ideologi Pancasila (BPIP). Menurut laporan Tempo (26-12-2016), lembaga setingkat menteri ini dibentuk langsung di bawah presiden dengan tugas mengoordinasikan, menyinkronkan, dan mengendalikan penerapan nilai-nilai Pancasila. Sasaran pelaksanaannya meliputi sekolah, instansi pemerintah dan organisasi masyarakat.

“Pancasila harus benar-benar tertanam dalam pola pikir, sikap, mentalitas, ke dalam gaya hidup kita yang sebenarnya dan perilaku kita dalam kehidupan sehari-hari,” kata Jokowi saat menggelar rapat terbatas membahas masalah pemantapan Pancasila pada 19 Desember 2016. .

Ideologi Yang Pernah Berlaku Di Indonesia

Pendirian lembaga pendidikan Pancasila oleh Jokowi ini mengingatkan pada upaya Presiden Soeharto mengindoktrinasi ideologi Pancasila 40 tahun lalu. Pada Maret 1979, pemerintah pernah membentuk badan serupa yang disebut Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Pemahaman dan Pengamalan Pancasila (BP7). Dalam pelaksanaannya, lembaga ini dibantu oleh Penasehat Presiden Bidang Pelaksanaan Pedoman Pemahaman dan Pengamalan Pancasila (P7).

Ideologi Kapitalisme: Pengertian, Kekuatan Dan Kelemahannya

Melalui lembaga negara nondepartemen ini, rezim Orde Baru bebas menjalankan proyek ideologisnya hingga api reformasi berkobar pada 1998. Dalam kurun waktu 19 tahun, pemerintah mewajibkan setiap pejabat dan anggota masyarakat untuk hadir. pemutakhiran pedoman pemahaman dan pengamalan Pancasila (P4). Di tingkat sekolah, P4 pertama kali diajarkan melalui mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang pertama kali diatur dalam kurikulum 1975.

Sejak Januari 2017, pemerintah Jokowi melalui BPIP berencana menghidupkan kembali pelatihan P4 yang diklaim mampu menangkal radikalisme. Rencana ini kembali mencuat pada Februari 2020, menyusul pernyataan mantan anggota Dewan BPIP, Mahfud MD, yang menyebut beberapa orang sudah dievaluasi.

Operasi Ketertiban Mental Ketika PMP mulai diajarkan di sekolah-sekolah formal, gagasan penanaman Pancasila di kalangan pejabat pemerintah juga dibicarakan. Dalam setiap pidato kenegaraan, Soeharto kerap mengingatkan para pejabat untuk mulai mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Puncaknya pada tahun 1976, katanya pemerintah menyiapkan pedoman untuk itu.

Susunan Pedoman Penanaman Ideologi Pancasila secara resmi disahkan oleh MPR pada tanggal 21 Maret 1978 dengan nama Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Menurut David Bourchier dalam Illiberal Democracy in Indonesia: The Ideology of the Family State (2014: 191), P4 tidak dimaksudkan untuk menafsirkan nilai-nilai Pancasila, melainkan “instruksi dan tata tertib kehidupan sosial dan politik warga negara Seluruh Indonesia. , khususnya PNS, seluruh instansi pemerintah dan organisasi kemasyarakatan.

Alasan Pancasila Sulit Untuk Dideskripsikan Dibandingkan Dengan Ideologi Lainnya

Bourchier juga mengatakan bahwa P4 pada dasarnya merupakan perwujudan pemerintahan otokratis Orde Baru dalam upaya mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila. Program ini wajib diikuti oleh seluruh perwira dan anggota ABRI dalam jangka waktu tertentu, tergantung pangkatnya. Selain Pancasila, mereka juga diinstruksikan untuk mempelajari UUD 1945 dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Upgrade P4 sebenarnya cukup berat, apalagi menurut standar sekarang. Seperti dicatat oleh Bourchier, pembaruan biasanya dilakukan dalam waktu dua minggu, dari pukul delapan pagi hingga enam sore. Untuk pejabat pemerintah senior, waktu mengajar adalah 120 jam. Peserta yang menunda dianggap gugur dan harus mengulang dari awal apabila diketahui tidak hadir satu kali atau dianggap tidak mengikuti tata krama instruksi.

“Peserta yang datang terlambat di setiap sesi akan langsung ditandai, demikian pula peserta yang tidak menghormati tata krama, seperti tidak duduk rapi atau tidak menunjukkan rasa hormat kepada pelatih atau bahkan menguap,” tulis Bourchier.

Selain itu, tata krama pembaruan P4 disusun dengan bercermin pada budaya kesantunan Jawa. Bourchier melanjutkan bahwa selama kuliah “peserta yang terlalu banyak mengungkapkan pendapatnya juga akan mendapat peringatan, begitu pula peserta yang hanya diam.”

Kuliah Umum “memahami Kedudukan Konstitusi Dalam Bernegara” Oleh Prof. Dr. Aswanto, Sh, M.si, D.f.m. (wakil Ketua Mahkamah Konstitusi)

Setahun setelah seminar P4 pertama kali diselenggarakan pada 1 Oktober 1978, Soeharto membentuk BP7 dan P7 dengan tugas pokok mengoordinasikan seluruh kegiatan peningkatan P4 di tingkat bawah. Kedua badan ini juga bertugas menyelenggarakan pendidikan di luar lembaga negara yang berlaku secara nasional.

Dalam wawancara Tempo (1979-11-8), Roeslan Abdulgani selaku ketua Tim P7 mengakui bahwa pemutakhiran P4 pada dasarnya bisa disamakan dengan operasi mental yang teratur. Baginya, peserta penataran tidak penting lulus atau tidak karena yang ingin dicapainya adalah perubahan situasi kerja suatu unit pemerintahan.

“Sistem demokrasi selalu mengenal persuasi dan pemaksaan, persuasi dan pemaksaan, yang merupakan dua sayap dari satu gagasan. Dan peningkatan P4 ini adalah persuasi,” ujarnya mengutip Tempo.

Sementara itu, menurut sejarawan dan peneliti LIPI, Taufik Abdullah, ada risiko dengan studi P4. Ia juga menjelaskan bahwa realita yang muncul di masyarakat tidak selalu sesuai dengan nilai-nilai luhur P4, sehingga tidak jarang menimbulkan frustasi yang menimbulkan kemunafikan.

Liberalisme, Sebuah Wacana Klasik Untuk Masa Depan: Tinjauan Buku Liberalisme Klasik

Keseragaman ideologi Pada tahun-tahun berikutnya, cakupan peserta pelatihan P4 diperluas. Pesertanya tidak lagi didominasi pegawai negeri, tapi juga anggota partai, pendeta, pegawai, pengusaha, mahasiswa, artis, jurnalis dan lain-lain. Seperti yang diceritakan Soeharto kepada G. Dwipayana dan Ramadhan K.H. dalam Suharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya (1988: 316), merasa perlu “melanjutkan dan memperluas pelatihan P4, terutama di kalangan tokoh masyarakat sampai ke tingkat daerah”.

Nazaruddin Sjamsuddin dalam bukunya Integrasi Politik di Indonesia (1989: 159) menulis alasan yang sangat politis di balik rencana Soeharto memperluas cakupan pendidikan P4. Menurutnya, rezim Orde Baru tertekan oleh penyebaran ideologi partai politik baru selain Golkar. Pada saat yang sama, kelompok Islam dan nasionalis mulai mengkritik pemerintah secara terbuka.

Maraknya kubu oposisi membuat pemerintah merasa perlu untuk menegaskan kembali Pancasila sebagai falsafah negara. Hal ini sejalan dengan argumentasi yang ditulis David Bourchier bahwa “kampanye P4 adalah upaya pemerintah untuk menghindari kritik dengan meningkatkan perhatian terhadap masalah krisis moral”. Melalui sosialisasi ideologis semacam ini, masyarakat sipil dibimbing untuk mengikuti prinsip unik orde baru, yaitu Pancasila.

Untuk meningkatkan penetrasi P4 di kalangan masyarakat sipil, pemerintah melalui BP7 dan P7 telah memperluas metode pelaksanaan P4 dengan program-program nonpelatihan yang dianggap cocok untuk semua kalangan. Program yang berlaku secara nasional meliputi kegiatan simulasi, penggunaan modul dan pameran budaya tradisional.

Kritik Pancasila Dan Radikal Rocky Gerung

Dilihat dari skala pesertanya, P4 mungkin merupakan kampanye ideologi paling sukses yang pernah dilakukan di Indonesia. Berdasarkan laporan Kepala BP7 Pusat, Oetojo Oesman, diketahui bahwa pada tahun 1989 sudah hampir 65 juta orang yang mengikuti program pembudayaan P4 di luar jalur pemutakhiran. Sementara itu, lebih dari 32 juta lebih orang telah melalui upgrade P4 sejak BP7.

Obsesi sosialisasi ideologi pancasila disusul dengan keputusan Menteri Pendidikan Nugroho Notosusanto yang menginginkan P4 diberikan kepada warga sekolah. Maka pada tahun 1984, beliau menginstruksikan perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, untuk mulai memasukkan pendidikan P4 ke dalam sistem semester baru.

Menurut Margono dalam tesis masternya yang berjudul “Karakteristik Proses Belajar Mengajar Upgrade P4 45 Jam Bagi Mahasiswa Baru” (1991), pada awal pelaksanaannya, upgrade P4 di kampus menggunakan model 100 jam. Total waktu mahasiswa yang terlibat dalam perkuliahan Pancasila, UUD 1945, dan GBHN saat itu hanya sedikit lebih dari 20 jam dari waktu yang dihabiskan untuk mengajar para pejabat pemerintah.

Tanpa sepengetahuan mereka, hal ini menimbulkan kekesalan di kalangan siswa karena materi penataran yang disampaikan selama dua minggu berturut-turut, dari pukul tujuh pagi hingga pukul lima sore, ternyata hanya pengulangan topik PMP. Dari sini, kampanye P4 mulai meruncing.

Macam Macam Demokrasi Di Berbagai Negara Beserta Penjelasannya

Pada tahun 1991, menurut Margono, penerus Nugroho Notosusanto sebagai Menteri Pendidikan, Fuad Hassan, mempertimbangkan untuk mengurangi waktu penyegaran P4 bagi mahasiswa baru menjadi 45 jam. Sayangnya, hal itu tidak mengurangi rasa tertekan yang dialami siswa karena materi P4 berakhir di meja siswa SMP dan SMA.

Selain itu, tambah Margono, upgrade P4 juga memiliki banyak kelemahan. Metode pembaruan telah dirancang dan bersifat default sehingga tidak dapat diubah tanpa persetujuan BP7.

Pendekatan formal yang sangat kaku dan berurutan ini dianggap sebagai bentuk penindasan. Oleh karena itu, ketika reformasi mencapai puncaknya pada Mei 1998, penataran P4 di tingkat yang lebih tinggi menjadi salah satu warisan orde baru yang muncul langsung dari kalangan mahasiswa. Apa saja contoh ancaman ideologis yang membahayakan keutuhan negara kesatuan? Republik. Indonesia? Ancaman dalam ranah ideologi dapat berupa ancaman nonmiliter.

Ancaman nonmiliter adalah ancaman yang menggunakan faktor nonmiliter yang dianggap membahayakan kedaulatan negara, kepribadian bangsa, keutuhan wilayah negara dan keamanan segenap bangsa akibat pengaruh negatif globalisasi.

Marhaenisme, Ideologi Yang Tercetus Saat Sukarno Bersepeda

Sedangkan bentuk ancaman yang melibatkan kekuatan fisik bersenjata yang terorganisir dan mengancam keamanan fisik disebut ancaman militer.

Yang dimaksud dengan ancaman nonmiliter pada dasarnya adalah ancaman yang tidak melibatkan kekuatan militer. Meski tidak berbahaya secara fisik, namun ancaman ini dapat membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara dan keamanan seluruh bangsa Indonesia jika dibiarkan.

Berdasarkan buku Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan untuk SMA/MA/SMK/MAK Kelas X karya Tolib dan Nuryadi, ancaman nonmiliter dapat mencakup dimensi ideologis, politik, ekonomi, sosial budaya dan lainnya.

Jenis ancaman ini dapat berubah menjadi ancaman militer jika tingkat ancamannya meningkat. Oleh karena itu, ancaman nonmiliter sama bahayanya dengan ancaman militer dan harus diwaspadai.

Gerakan Dan Ide Anarkisme Di Indonesia

Lain halnya dengan ancaman nonmiliter. Bentuk ancaman militer adalah ancaman yang secara langsung melibatkan penggunaan kekuatan bersenjata militer. Intimidasi yang terjadi sangat terorganisir dan dianggap mengancam kedaulatan negara.

Bahaya dari ancaman ini sering dikaitkan dengan bidang pertahanan dan keamanan. Contohnya termasuk agresi atau invasi, pelanggaran teritorial, pemberontakan bersenjata, sabotase, spionase, aksi terorisme bersenjata, dan ancaman terhadap keamanan maritim dan udara.

Ancaman militer berupa pemberontakan bersenjata biasanya dilakukan oleh bagian negara tertentu. Namun, hal ini tidak menutup kemungkinan adanya pemberontakan bersenjata yang difasilitasi oleh kekuatan asing, baik secara terselubung maupun terbuka.

Kita kembali ke pembahasan ancaman non-militer. Salah satu bentuk ancaman jenis ini adalah ancaman dalam ranah ideologi.

Fungsi Dan Kedudukan Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa

Menurut buku Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Pasti Bisa Untuk Kelas XI SMA/MA yang ditulis oleh Tim Operasi Ganesha (2017: 69), ancaman integrasi nasional di bidang ideologi merupakan ancaman yang dapat mempengaruhi pemikiran atau pendapat masyarakat dari ideologi bangsa Indonesia yaitu pancasila. Jika dibiarkan, ancaman ini akan menghambat terwujudnya integrasi nasional.

Salah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like