Bagaimana Pengaruh Perubahan Politik Kolonial Terhadap Penguasa Tradisional

Bagaimana Pengaruh Perubahan Politik Kolonial Terhadap Penguasa Tradisional – Aktivis gerakan antikolonial yang dianggap membangkang menggunakan berbagai cara untuk mengkompensasi waktu yang dihabiskan di penjara oleh pemerintah Hindia Belanda. Salah satunya adalah menulis.

Pada tahun 1917-1918, jurnalis Marco Kartodicromo yang merupakan anggota Sarekat Islam Surakarta memutuskan untuk menulis novel “Mahasiswa Hijo” saat ia menderita di Penjara Waltervreden di Batavia pada tahun 1917-1918. Ditulis dalam bahasa Melayu, novel ini mengikuti perjalanan seorang pria bernama Hijo yang merantau ke Belanda untuk belajar di Delft Institute of Technology.

Bagaimana Pengaruh Perubahan Politik Kolonial Terhadap Penguasa Tradisional

Rudolph Mrazek, dalam bukunya Engineers of the Happy Land, mendeskripsikan Student Hijo sebagai cerita tentang gaya hidup masyarakat adat modern. Pria itu dikatakan mengenakan celana panjang, jaket dan dasi serta menyembunyikan dua pena di saku jasnya. Kemodernan gaya hidup Hijo tidak sebatas penampilan saja. Selama di Belanda, Hijo makan dari restoran ke restoran, melihat teater, piknik, dan naik trem.

Sejarah Nusantara (1800–1942)

Di hotel, Hijo dilayani oleh seorang pelayan Belanda. “Mabuk Marco akan memanggilnya ‘pelayan’ (budak dalam bahasa Melayu) dan kita dapat dengan aman menganggap dia berpakaian sebagai pelayan,” kata Mrazek.

Sekilas kehidupan Hijo tampak sederhana sebagai mahasiswa Indonesia penerima beasiswa LPDP yang memungkinkannya melakukan perjalanan ke tempat-tempat eksotis di negara-negara Eropa selain studinya. Namun, sebenarnya ada konten revolusioner yang tercermin dalam gaya hidup Hijo di Eropa, terutama mengingat konteks diskriminasi pada saat itu akibat pakaian yang dikenakan penduduk asli.

Dalam bukunya Sarung, Jubah dan Celana: Sebagai Sarana Diskriminasi dan Diskriminasi, Kees van Dijk menceritakan sebuah petikan dari Kaom Moeda edisi 25 September 1917, yang menceritakan pengalaman seorang jurnalis bernama Keok yang memesan minuman dan makanan di sebuah bioskop.

Awalnya, Keok datang dengan pakaian khas pribumi. Dia memesan segelas jus jeruk dari pelayan lokal. Tapi pelayan menolak permintaan Keok dan melayani orang Eropa beberapa saat kemudian. Penasaran, Keok kembali ke bioskop. Kali ini dia berpakaian dengan gaya Eropa. Alhasil, Keok langsung diurus.

Modul Sejarah Indonesia Kelas Xi Kd 3.3

Di artikel yang sama, van Dijk berbicara tentang kakek Prabowo Subianto, Margono Jojohadikusumo. Saat belajar di Escola Europeesche Lagere (ELS) pada 1901, Margono mengenang mahasiswa Jawa masih mengenakan baju batik, jaket tertutup, dan bertelanjang kaki. Cara berpakaian ini sering diejek oleh kepala sekolah, sedangkan siswa Indo-Eropa menyebut mereka “pribumi kotor”.

“Biasanya kulit mereka lebih kecokelatan daripada saya. Bedanya mereka pakai sepatu dan punya nama Belanda,” kata Margono.

Irama Modern di Hindia Belanda Mrazek mencatat bahwa pada tahun 1900, Batavia, Cirebon, Tegal, dan Pekalongan dihubungkan oleh saluran telepon. Selama ini, ratusan warga Hindia Belanda melakukan perjalanan dengan kereta api yang jalurnya mengitari pulau Jawa.

Sejak tahun 1910-an, sekolah-sekolah yang lebih modern didirikan di Hindia Belanda: Kolese Kedokteran STOVIA, didirikan pada tahun 1899; Technische Hoogeschool (cikal bakal ITB) didirikan pada tahun 1920. Sekolah ini banyak dihadiri oleh bangsawan, bangsawan atau anak orang kaya setempat. Beberapa dari mereka, seperti yang dicontohkan oleh sosok Hijo, melakukan perjalanan jauh untuk mengejar gelar akademik hingga ke Eropa.

Bahan Ajar Ppl 1

“Motivasinya adalah perasaan inferioritas sosial ayah Hijo, setelah bertemu dengan orang-orang berpangkat tinggi di kalangan pribumi, terutama pejabat bangsawan Jawa. Seorang anak yang menjadi seorang insinyur dapat mengubah keadaan,” kata Mrazek.

Tak pelak, tiupan angin modernitas yang lambat turut mengubah cara berpakaian elite lokal di Hindia Belanda. Dalam meneliti biografi Adhisoerjo, van Dijk menemukan bahwa pada akhir abad ke-19 para murid STOVIA masih harus mengenakan pakaian adat. Namun, dalam biografi yang disusun Pramoedya Ananta Toer sepuluh tahun kemudian, para santri mengenakan celana panjang di balik jas putihnya.

Pada masa inilah para pemuda di Hindia Belanda juga mulai menggunduli rambut mereka. Juga beberapa artikel yang ditulis oleh Ki Hajar Devantara yang diterbitkan dalam De Indier pada tahun 1914 menyatakan: Orang Jawa mulai meninggalkan sarung dan topi, dan yang pertama melakukannya adalah murid-murid HBS, STOVIA, dan Pendidikan Guru. sekolah

Van Dijk mengomentari eksperimen Keok: “Dengan mengenakan pakaian Barat, Keok memasuki zona Eropa, di mana tidak mungkin membedakan apakah dia orang Eropa atau Indo-Eropa, secara hukum, tetapi tidak selalu secara sosial, dengan status yang sama.”

Sejarah Bs Kls Xi

Menurut Van Dijk, dibalik gaya hidup modis dan modern tersebut terdapat perasaan bahwa berpakaian ala Eropa merupakan indikasi dukungan seseorang terhadap perkembangan ide-ide progresif.

“Ini menunjukkan bahwa pria itu adalah bagian dari gerakan modern baru yang tidak hanya menuntut lebih banyak kebebasan politik di Belanda, tetapi juga memprotes tata krama dan etiket elit masyarakat mereka,” kata van Dijk.

Beberapa orang bahkan menganggap memakai pakaian adat sebagai mencela diri sendiri. Selain itu, berpakaian ala Eropa dinilai dapat meningkatkan status sosial. Sukarno adalah bagian dari kelompok ini.

“Saya sarankan mengutuk sarung bahkan untuk penggunaan pribadi. Kaos antik ini memiliki efek memalukan. Begitu dia memakai celana Indonesia, dia berjalan lurus seperti orang kulit putih,” kenang Soekarno dalam otobiografi Cindy Adams, Bung Karno: The Mulut Rakyat Indonesia.

Belajar Pintar Materi Smp, Sma, Smk

Adakah kontroversi bahwa penduduk asli mencoba mengenakan pakaian bergaya Eropa pada awal abad ke-20? Tidak. Itu digunakan oleh Amankurat II pada abad ke-17.

“Yang Mulia Mangku-Rat mengenakan gaun Belanda, stoking, dan sepatu, celana selutut dengan lutut berkancing, jaket beludru tiga potong dengan bagian depan terbuka, dihiasi renda emas, dengan permata dan permata, dan hiasan kepala.” kata van Dijk mengutip teks Babad Tanach Javi.

Namun, dengan mengenakan pakaian ini, babad tersebut mewakili Amangkurat yang mengorbankan identitas kejawaannya. Tingkah lakunya berpakaian seperti orang Eropa membuat sebagian orang mengira bahwa Amangkurat II bukanlah seorang pangeran Jawa, melainkan anak seorang laksamana Belanda yang menyamar.

Kontroversi “kehilangan identitas” ini muncul pada awal abad ke-20. Ki Hajjar Devantara, yang diterbitkan pada tahun 1914 di De Indier, mengungkapkan keprihatinan dan protes para ayah dan saudara perempuan yang konservatif. Dia juga melaporkan hubungan yang tegang antara ibu dan anak-anak yang memotong rambut mereka.

Dampak Politik, Budaya, Sosial, Ekonomi Dan Pendidikan Pada Masa Penjajahan Bangsa Eropa

“Saya tahu cerita dari seorang guru bahkan dokter setempat: ‘Kalau kamu tidak berambut panjang, berarti kamu bukan orang Jawa,'” kata Ki Hajar Devantara, seperti dikutip van Dijk.

Van Dyck menulis pada tahun 1914: “Apakah setelan yang bagus membuat pria tampan?” De Indier yang menerbitkan artikel itu juga ikut terekspos. Artikel tersebut ditulis oleh R.M. Soetatmo Mangoenkoesoemo akan mendesak kaum nasionalis untuk kembali ke pakaian adat.

Menurutnya, orang Jawa memakai pakaian Eropa hanya untuk dikagumi orang Belanda. Dengan demikian mereka terhindar dari ejekan karena orang Belanda lebih ramah kepada orang Jawa.

Berdasarkan hal tersebut, pada tahun 1917, surat kabar Oetoesan Melajoe menyatakan bahwa seorang Melayu yang menanggalkan pakaian nasionalnya dan mengadopsi pakaian Barat tidak hanya menghina dirinya sendiri dan menyangkal kewarganegaraannya, tetapi juga merasa sulit untuk mengklasifikasikannya menurut golongan bangsanya. Eropa, bukan Melayu.

Pdf) Dominasi Barat Dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Islam

Pada tahun 1921, dalam pertemuan Jong Java di Surabaya, topi juga dibahas. Sukarno menggambarkan kisah ini dengan indah dalam Bung Karno: Di Mulut Rakyat Indonesia.

Ia mengatakan, pertemuan para cendekiawan mempertanyakan penggunaan peci, sarung, dan peci Jawa. Mereka percaya bahwa pakaian digunakan oleh “kelas” bawah. Di tengah kehebohan itu, Sukarno, 20 tahun, menyapa mereka dengan tegas, jenis pidato yang menegaskan peci sebagai simbol nasionalisme Indonesia.

“Kita membutuhkan simbol identitas Indonesia. Jenis penutup kepala ini sama dengan yang dikenakan oleh pekerja Melayu biasa. Angkat kepalamu dan mari kita kenakan topi ini sebagai simbol Indonesia Merdeka,” kata Sukarno.

Pengaruh sperma terhadap janin, pengaruh politik terhadap hukum, bagaimana pengaruh iptek terhadap kehidupan masyarakat, pengaruh kopi terhadap sperma, pengaruh televisi terhadap, pengaruh pikiran terhadap kesehatan, pengaruh internet terhadap pelajar, pengaruh obesitas terhadap hipertensi, pengaruh perubahan iklim global, pengaruh politik terhadap masyarakat, pengaruh nanas terhadap kehamilan, pengaruh deterjen terhadap perkecambahan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like